INDUSTRI BUKU DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR CETAK
Dosen : Prof. Bintang P Sitepu
Disusun oleh :
Arie Anindhita 1215115122
Grace Nataline Claudya 1215115130
Mayndi Fathir Alfath 1215116018
Nihaya Lastari 1215116019
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Buku menurut wikipedia adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman.
Buku menawarkan limpahan informasi yang bisa dibaca oleh manusia sehingga buku pun digunakan di sekolah serta lembaga pendidikan lainnya sebagai fasilitas belajar.Menurut UNESCO, buku karena sebagai salah satu sumber informasi dalam proses belajar dan membelajarkan, di samping kualitas dan kuantitas informasi yang juga dianggap penting serta ikut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran itu.
Buku pertama kali ditemukan di Mesir 2400 sebelum masehi yang terbuat dari daun papyrus yang digulung dan masih ditulis tangan. Kemudian dimodifikasi sedemikian rupa hingga penggunaan buku lebih sederhana. Hingga ditemukan mesin berteknologi canggih untuk mencetak kertas dan buku pun kini bisa diterbitkan dengan cepat dan mudah. Buku bisa dicetak dengan berbagai jenis kertas, ukuran, dan tebal yang beragam. Buku pun dengan mudah dicetak secara massal dan di distribusikan ke toko buku di berbagai daerah. Sehingga penggunaan buku di Indonesia pun kian meluas.
1.2 Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang masih mengandalkan buku sebagai salah satu sumber informasi untuk berbagai keperluan termasuk keperluan belajar dan membelajarkan. Pemenuhan kebutuhan buku itu ditentukan oleh kemampuan industri buku di Indonesia. Bagaimana keadaan dan perkembangan perbukuan di Indonesia dilihat dari pilar-pilar industri buku seperti pengarang, penerbit, percetakan, penyalur, dan masyarakat pembaca yang tersebar diseluruh Indonesia.
Sayangnya, kualitas buku di Indonesia masih rendah. Tingkat minat baca pun masih rendah apalagi untuk kalangan anak-anak. Ditambah lagi permasalahan plagiarism yangdilakukan masyarakat di Indonesia. Bagaimana dengan masalah kuliatas dan kuantitas buku yang dihasilkan agar minat masyarakat untuk membaca pun bertambah ditiap tahunnya.
1.3 Rincian Masalah
1. Bagaimana perkembangan buku di Indonesia?
2. Apa saja jenis, fungsi, keunggulan dan keterbatasan sebuah buku?
3. Apa yang menjadi pilar-pilar dalam perkembangan industri buku saat ini?
4. Apa yang menjadi hambatan dari pilar-pilar tersebut dalam pemerataan industri buku di seluruh Indonesia ?
1.4 Tujuan
Mengingat kegunaan buku yang masih bisa dirasakan dan diperlukan dalam proses menambah pengetahuan, khususnya lagi lembaga-lembaga pendidikan. Kami mempunyai tujuan untuk membahas perkembangan industri buku di Indonesia ini adalah untuk mencari tahu hasil dari perkembangan industri buku apakah sudah merata sesuai yang diharapkan ,sehingga semua anak-anak Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk membaca buku, tidak hanya yang diwilayah perkotaan saja melainkan diseluruh masyakat Indonesia berada.
1.5 Rujukan
Pembahasan kami kali ini dirujuk dari sebuah buku yang berjudul “Penyusunan Buku Pelajaran” yang ditulis oleh Prof.B.P.Sitepu tahun 2006 dan merajuk juga pada bahasan yang bersumber dari internet lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN BUKU DI INDONESIA
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan kan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.
JENIS BUKU
Buku terdiri dari berbagai jenis, berdasarkan fungsinya maka buku terbagi atas : buku bacaan dan buku pelajaran. Bila digolongkan berdasarkan jenis isinya maka buku terbagi atas : buku fiksi, buku fiksi ilmiah, buku non fiksi. Dan bila digolongkan berdasarkan bentuk penyajiannya maka buku terbagi atas buku bacaan, buku cerita bergambar, dan buku komik.
Sedangkan berdasarkan keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah No. 262/C/Kep/R.1992, buku digolongkan ke dalam empat jenis :
- Buku pelajaran pokok
- Buku pelajaran pelengkap
- Buku bacaan
- Buku sumber
FUNGSI BUKU
- Memperluas wawasan
- Memberikan pengetahuan baru
- Memperdalam pengetahuan sebelumnya
- Memberikan inspirasi baru
- Mendorong untuk mengembangkan pengetahuan yang sudah dimiliki
KEUNGGULAN BUKU
Berdasarkan isi buku :
- Sesuai untuk semua jenis informasi atau kajian
- Informasi dapat disajikan dalam berbagai bentuk
- Buku pelajaran dapat memberikan struktur bahan ajar
Berdasarkan pemanfaatan buku
- Waktu dan tempat belajar dapat disesuaikan
- Belajar sesuai dengan kemampuan
- Mengulangi dan meninjau kembali
- Bahan ajar serta tugas-tugas yang siap pakai
Berdasarkan harga buku
- Harga buku relatif murah
- Dapat disesuaikan dengan kemampuan daya beli
KETERBATASAN BUKU
- Tidak dapat memenuhi kebutuhan semua siswa di semua termuat dan semua waktu
- Cenderung monolog
- Membatasi kreatifitas
- Keterbatasan daya fisik buku
- Kalah dengan kecanggihan media elektronik
STRUKTUR BUKU
Bagian awal
- Halaman sebagian judul (Half title page)
- Halaman judul (Title page)
- Halaman hak cipta (Inprint / Copyright page)
- Prakata (Preface)
- Daftar isi (Content)
Bagian teks
- Judul bab
- Pecahan judul / Subtajuk
- teks
- ilustrasi
- Bagian akhiran
- lampiran
- Bibliografi
- Glosari
- Masukan indeks
Kulit belakang
- Intisari isi buku
- biodata penulis
- foto penulis
B. UNSUR PERBUKUAN DI INDONESIA
Seorang penyair kondang di Indonesia, Taufik Ismail, mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih rabun membaca dan pincang menulis. Hal ini ia tegaskan setelah melakukan penelitian sederhana kepada siswa SMU di 13 negara. Jika 13 SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku sastra selama tiga tahun, Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darusalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia nol buku.
Berdasarkan data di atas maka tak heran bila industri buku di Indonesia tidak berkembang secara maksimal dan memuaskan. Industri buku di Indonesia seperti belum mampu memenuhi kebutuhan perbukuan di Indonesia. Keberhasilan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan akan buku ditentukan oleh sejumlahpilar yang berkaitan,yaitu
:
(1) pencipta ide/gagasan
(2) penerbit
(3) percetakan
(4) penyalur / distributor
(5) masyarakat pembaca
Keberadaan lima unsur diatas saling mempengaruhi dan berkaitan dan disebut sebagai lima pilar industri buku. Semakin maju industri buku semakin profesional penanganan masing-masing pilar. Oleh karena itu masalah perbukuan atau maju mundurnya industri buku umumnya berkaitan dengan kelima pilar tersebut. Kualitas dan kuantitas atas kelima pilar tersebut dapat memberikan gambaran tentang keadaan industri buku saat ini.
Berikut ini digambarkan kelima pilar itu di Indonesia. Sangat sulit mendapatkan data kuantitatif yang akurat tentang masing-masing pilar.
Masing-masing dari kelima pilar tersebut memegang peranan sendiri-sendiri yang sama pentingnya. Dalam industri buku yang maju, tidak mungkin kelima pilar itu dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang yang sama. Kelima pilar itu berdiri sama tegak dan sejajar serta saling bersinergi dalam menumbuhkembangkan industri buku. Kelemahan di salah satu pilar akan memberikan pengaruh negatif pada pilar lainnya.
ANALISIS MASING-MASING PILAR
1. PENCIPTA IDE
Pencipta ide adalah seseorang yang melahirkan gagasan yang kemudian dituliskan menjadi naskah dan dikemas menjadi sebuah buku. Pencipta ide bisa saja seorang penulis, pengarang, penyadur dan penerjemah. Yang termasuk ke dalam pilar ini ialah pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur naskah. Pengarang adalah orang yang melahirkan dan menuliskan gagasan atau pikirannya dalam bentuk naskah. Sedangkan penulis diartikan sebagai orang yang menuliskan suatu gagasan yang mungkin asli atau tidak asli dari hasil pikirannya sendiri. Akan tetapi dalam pemakaian sehari-hari kedua kata itu sering diartikan sama dan penggunaannya saling dipertukarkan. Penerjemah ialah orang yang mengalihbahasakan suatu gagasan atau naskah dari satu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan penyadur adalah orang menyusun kembali suatu gagasan atau naskah secara bebas tanpa mengubah inti/isi gagasan aslinya dengan penyajian yang disesuaikan dengan sasaran. Dengan demikian keempat jenis pencipta ide ini pada hakikatnya menghasilkan naskah yang selanjutnya akan diproses menjadi media cetak. Oleh karena terbitnya sebuah buku berawal dari naskah, maka jumlah dan kualitas pencipta ide ini menentukan pula jumlah dan mutu naskah yang dihasilkan.
Dalam kurun lima tahun (1999 -2003) jumlah rata-rata judul buku baru yang diterbitkan setiap tahun sekitar 6000 judul (termasuk terjemahan). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah judul buku baru yang diterbitkan di Malaysia (+ 8.500 judul), Korea (+45.000 judul), Jepang (+60.000 judul), dan Amerika (+ 90.000 judul). Rendahnya produksi buku di Indonesia tidak terlepas dari kurangnya naskah yang dihasilkan oleh penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur.
Dilihat dari jenisnya, buku-buku yang diterbitkan itu dapat digolongkan sebagai berikut:
Tabel 1
Persentase buku yang diterbitkan dilihat dari jenisnya
NO
|
JENIS BUKU
|
JUMLAH
|
1
|
Buku Sekolah
|
65 %
|
2
|
Buku Perguruan Tinggi
|
15 %
|
3
|
Buku Agama
|
15 %
|
4
|
Buku Lainnya
|
5 %
|
Sumber: Kongres Perbukuan Nasional I, 1995
Menurut sumber data yang diacu dari dokumen Kongres Perbukuan tahun 1995, nampaknya komposisi jenis buku itu belum banyak berubah sampai dengan tahun 2003. Komposisi jenis buku yang diterbitkan itu menunjukkan bahwa jenis buku yang paling banyak dihasilkan adalah untuk keperluan sekolah atau buku pelajaran, baru kemudian buku perguruan tinggi yang jumlahnya sama dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan bahwa penulis/pengarang, penerjemah, serta penerbit menganggap bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) masih merupakan pasar/sasaran utama. Data ini juga memberikan indikasi, kebanyakan penulis/pengarang dan penerjemah buku pada umumnya masih berasal dari kalangan guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Jumlah penulis di Indonesia masih terbilang sedikit dibandingkan dengan jumlah buku yang diperlukan dalam sebuah lembaga. Dalam Kongres perbukuann 1 (1995) dikemukakan beberapa permasalahan para pencipta ide di Indonesia, antara lain :
1. Hak Cipta penulis/pengarang,penerjemah, dan penyadur kurang terlindungi sehingga menimbulkan maraknya pembajakan karya tulisan yang sangat merugikan.
2. Imbalan atau royalty penulis/pengarang,penerjemah dan penyadur mash rendah dan tidak menarik disebabkan oleh pasaran buku masih belum baik dan manajemen kebanyakan penerbit belum transparan
3. Terbatasnya jumlah penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur yang meiliki kemampuan dan waktu yang cukup untuk menuis naskah –naskah ilmiah.
4. Belum semua perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis naskah buku.
5. Kurangnya pelatihan untuk menjadi penulis naskah buku.
Dari yang dikemukakan oleh organisasi tersebut, masih ada opini lain yang mengemukakan mengapa kurangnya jumlah penulis di Indoesia adalah kebijakan yang selama ini dikeluarkan pemerintah hanya menambah monopoli perbukuan oleh penerbit tertentu yang sebenarnya tidak memiliki arah yang jelas. Sehingga menimbulkan kesan negative terhadap si penulis bahwa jika ia menulis tidak bisa berharap lebih sesuai dengan yang dia harapkan
Akibatnya yang ditimbulkan ialah semakin berkurangnya jumlah penulis, sendainya pun ada peningkatan jumlahnya tidak signifikan karena kesan yang sudah beredar menjadi penulis dianggap kurang menguntungkan dan tidak dianggap menjadi suatu profesi. Maka dari itu makin merajalela proses plagiatan yang sangat dirugikan ditambah lagi kurang tegaknya hukum yang berlaku.
Hal yang mungkin dianggap mampu berhasil jika ingin memperbaiki sistem ini adalah memulai dari diri sendiri. Apalagi sebagai mahasiswa yang dibanggakan , kita harus menghadapi tantangan yaitu bagaimana mahasiswa harus mampu memberikan ide-ide kreatifnya dan menuangkan dalam bentuk tulisan yang akhirnya mampu memunculkan buku-buku yang inspiratif, apalagi dalam bidang pendidikan. Mampu memberikan bacaan yang mampu mencerahkan pembacanya. Karena fungsi dari tulisan atau buku adalah sumber informasi bagi pembacanya. Dan inilah yang harus diperhatikan setiap penulis muda.
2. PENERBIT
Penerbit adalah bahan usaha yang menerbitkan naskah dalam bentuk buku ataupun media cetak lainnya. Penerbit memiliki fungsi sebagai berikut :
1. memperoleh naskah dari pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur;
2. mempertimbangkan kelayakan penerbitan naskah;
3. mengedit naskah dari segi bahasa dan ilustrasi;
4. membuat rancangan/desain penerbitan naskah;
5. menyerahkan naskah siap cetak kepada percetakan;
6. menerima hasil cetakan dari percetakan; dan
7. mendistribusikan/menyalurkan buku itu ke penjual buku.
Penerbit buku memiliki tiga bagian utama dalam menjalankan usahanya :
- Bagian editorial yang bertugas untuk memperoleh dan mengolah naskah. Bagian ini pula yang mengadakan hubungan dengan pengarang/penulis, penerjemah dan penyadur serta memberikan pertimbangan kelayakan penerbitan naskah.
- Bagian produksi yang bertugas untuk membuat rancangan buku (ukuran, tata letak, ukuran dan jenis huruf, warna, serta jenis kertas) dan melakukan pengawasan atas hasil kerja percetakan. Selaras dengan perkembangan teknologi infomasi, banyak penerbit yang mengembangkan naskah dalam bentuk siap cetak (camera ready copy), sehingga percetakan tidak lagi melakukan setting huruf atau perubahan yang berarti sampai naskah itu masuk proses cetak. Hasil pencetakan naskah yang sudah dalam bentuk buku itu dari percetakan kembali ke penerbit untuk dipasarkan.
- Bagian pemasaran yang bertugas untuk menjajaki jenis buku yang diperlukan pasar/ masyarakat, mempromosikan dan mendistribusikan/menyalurkan buku hasil terbitan.
Sebenarnya badan usaha penerbit di Indonesia sudah berkembang sejak akhir abad ke 19 setelah Indonesia lepas dari tangan penjajah. Penerbit nasional yang pertama berdiri adalah Balai Pustaka. Hingga kemudian banyak nama badan usaha yang muncul guna memenuhi kebutuhan buku di Indonesia. Jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. (Kompas.com) .
Dari data singkat diatas dapat diberi gambaran bahwa penerbit di Indonesia masih tergolong rendah. Hambatan dalam mengembangkan usaha penerbitan di Indonesia selalu sama dari tahun ke tahun sebagaimana terlihat dalam rekomendasi Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) 1978 – 1999 serta Kongres Perbukuan Nasional I (1995). Ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh para penerbit yaitu:
1. Pemasaran buku masih lesu dan tidak menggairahkan karena rendahnya minat baca, tingginya harga buku, dan buku belum menjadi kebutuhan pokok orang banyak.
2. Belum adanya kemauan politik Pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kemajuan perbukuan nasional (belum adanya undang-undang perbukuan, penegakan hukum dalam pelanggaran hak cipta masih lemah, pajak ganda dalam proses produksi buku, tata niaga buku yang masih semrawut, kesulitan dalam memperoleh kredit dari bank untuk penerbitan buku, dsb).
Tidak jauh berbeda dengan penulis, akibat yang ditimbulkan dalam penerbit ialah lemahnya jumlah penerbit. Seandainya pun ada jumlah penerbit didominasi oleh penerbit besar yang mengandalkan lembaga pendidikan sebagai pasar utama , sehingga penerbit lebih banyak menerbitkan buku paket pelajaran dibandingkan dengan buku umum yang bisa dijadikan untuk menambah pengetahuan.
Semestinya yang dilakukan ialah dukungan yang nyata dari pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk mengembangkan industri perbukuan dan minat baca di Tanah Air. Contohnya seperti pameran atau book fair, bisa dikatakan penerbit yang menggagas. Padahal, di negara- negara lain, pemerintah sangat berperan dalam menggagas pentingnya membaca buku.
3. PERCETAKAN
Percetakan adalah badan usaha jasa yang melakukan pencetakan naskah menjadi dalam bentuk media cetak seperti buku, brosur, majalah dan lain sebagainya. Sebelum teknologi informasi dan teknologi komunikasi merambah usaha penerbitan dan pencetakan serta mesin-mesin cetak belum mengalami komputerisasi, percetakan mengolah naskah siap cetak (clean copy) dari penerbit dengan melakukan susun huruf (setting), pencetakan, dan penjilidan sehingga berbentuk buku.
Usaha percetakan juga sudah ada di Indonesia mendahului usaha penerbitan. Percetakan itu diperlukan tidak semata-mata untuk mencetak buku tetapi juga untuk mencetak formulir, edaran, undangan, kartu nama, dan lain-lain. Di Indonesia percetakan diawali dengan berdirinya percetakan Lands Drukkerij di Jakarta pada tahun 1809, zaman penjajahan Belanda yang berlanjut dan kemudian berkembang menjadi Perum Percetakan Negara. Dengan demikian usia percetakan di Indonesia telah mencapai hampir dua abad. Jumlah percetakan berkembang terus di kota-kota besar di Indonesia dan jumlahnya tidak diketahui secara tepat. Apabila dihitung termasuk percetakan kecil seperti percetakan kartu nama dan undangan, jumlahnya tidak kurang dari 7.000 buah. Percetakan membentuk organisasi profesi, Persatuan Perusahaan Grafika (PPGI), yang mencatat jumlah angotanya sekitar 2.500 percetakan.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh percetakan dalam mencetak buku antara lain ialah:
1. Harga bahan baku kertas yang tinggi karena Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas (pulp).
2. Kurangnya pembinaan mutu percetakan dari instansi yang berwewenang sehingga terjadi penyalahgunaan percetakan untuk keperluan-keperluan negatif (pembajakan, prornografi, provokasi, dlsb).
3. Usaha percetakan buku belum menyebar di seluruh Indonesia.
4. Kurangnya tenaga teknis percetakan yang ahli di bidangnya.
(Kongres Perbukuan Nasional, 1995).
Percetakan di Indonesia seharusnya melakukan pencarian solusi dari keadaan-keadaan yang menghimpit. Seperti bahan baku yang mahal bisa dipecahkan dengan menggunakan bahan baku kertas daur ulang. Pemerintah juga harus menaruh perhatian khusus pada percetakan di Indonesia dengan melakukan pelatihan tenaga teknis dan pembinaan mutu. Pemerintah juga harus menghilangkan pemusatan percetakan di wilayah DKI Jakarta, sehingga setiap daerah di Indonesia mampu terpenuhi kebutuhan buku dengan cepat juga bisa mengembangkan tingkat ekonomi melalui usaha percetakan.
4. DISTRIBUTOR
Distributor adalah badan usaha atau lembaga/instansi yang berfungsi untuk menyalurkan dan menyediakan buku sehingga sampai ke pengguna atau pembaca. Distributor menerima buku dari penerbit & percetakan dan melakukan perjanjian atas penyaluran buku itu termasuk tata cara pembayarannya. Distributor/penyalur buku ada tiga unsur utama yakni : agen penerbit, toko/kios buku dan perpustakaan. Ketiga unsur inilah yang memainkan peranan penting dalam menghadirkan buku kepada pembacanya
Distributor bertugas untuk menyalurkan langsung buku diterima oleh masyarakat pembaca. Melalui distributorlah buku dipastikan dibaca oleh masyarakat pembaca. Maka dari itu biasanya melalui distributor bisa dianalisis data statistik penjualan buku oleh masyarakat. Buku tidak hanya bisa didapat melalui distributor berupa agen penerbit atau toko buku, tapi juga melalui perpustakaan.
Koleksi perpustakaan di Indonesia pada umumnya masih memprihatinkan apalagi kalau dibandingkan dengan koleksi perpustakaan di beberapa negara ASEAN. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan koleksi Perpustakaan Nasional sebagai contoh. Meskipun datadiatas menggambarkan keadaan pada tahun 1987 – 1989, sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan. Padahal seiring bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia serta berkembangnya daerah-daerah provinsi baru, jumlah perpustakaan harus semakin banyak dan buku-buku di dalamnya semakin beragam. Meskipun saat ini hampir di semua lembaga pendidikan di Indonesia memiliki fasilitas perpustakaan namun seringkali minat baca para peserta didiknya tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Perpustakaan lebih sering digunakan untuk tempat berkumpul ataupun mengakses internet yang gratis.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pendistribusian buku antara lain ialah:
1. Toko buku dan perpustakaan sebagai penyalur buku belum menyebar secara merata dan belum menjangkau masyarakat pembaca di lapisan bawah (di pedesaan dan daerah terpencil).
2. Toko buku tidak dapat berfungsi sepenuhnya sebagai penyalur atau penjual buku karena perdagangan buku bersifat musiman dan ramai hanya pada awal tahu pelajaran.
3. Tingginya biaya penyaluran buku ke daerah-daerah tertentu mengakibatkan harga buku menjadi mahal.
4. Toko buku dan perpustakaan belum dapat memenuhi kebutuhan semua masyakat pembaca.
5. Koleksi perpustakaan termasuk perpustakaan sekolah di daerah, khususnya di pedesaan masih sangat kurang dan jarang dimutakhirkan.
6. Jumlah tenaga profesional pengelola perpustakaan masih kurang.
7. Informasi tentang buku, khususnya yang baru terbit masih kurang dan terbatas
8. Jumlah pengunjung perpustakaan pada umumnya masih rendah.
Masalah-masalah diatas mungkin bisa diselesaikan bila pemerintah mau menaruh perhatian khusus pada industri buku di Indonesia. Pemerintah diharapkan bisa membuat program-program yang variatif dan menarik sehingga membangkitkan keadaan distributor buku yang lesu. Distributor juga diharapkan bisa jeli melihat peluang pasar atau bahkan menciptakan peluangnya sendiri.
5. MASYARAKAT PEMBACA
Masyarakat pembaca adalah masyarakat yang menggunakan buku untuk dibaca dan mengambil informasi didalamnya. Masyarakat pembaca adalah konsumen dari buku, seperti:siswa, mahasiswa, guru, dosen, pegawai serta masyarakat umum yang memerlukan buku sebagai bahan bacaan. Berdasarkan data, angka melek huruf di Indonesia telah mencapai 85 % dari penduduk Indonesia yang berarti berkisar 187 juta orang. Diperkirakan dari jumlah itu sebanyak 60 % atau 112,2 juta orang adalah pembaca fungsional dalam arti membutuhkan buku sebagai sumber informasi. Dari 112,2 juta pembaca fungsional itu, hanya 27,8 % atau 31,2 juta yang berada di lembaga pendidikan dan selebihnya (72,2 % atau 41 juta) berada di luar lembaga pendidikan.
Secara kuantitas jumlah diatas sangat besar dan merupakan pasar yang menarik untuk penjualan buku. Akan tetapi di kalangan masyarakat Indonesia, minat dan kegemaran membaca masih rendah. Kebanyakan masyarakat belum menggunakan waktu senggang untuk membaca. Masih jarang terlihat orang memanfaatkan waktunya untuk membaca ketika menunggu di stasiun, lapangan terbang, ruang tunggu dokter, atau dalam perjalanan dengan bus, kereta api, pesawat udara, dan kapal laut.
Berikut ini adalah beberapa masalah pada masyarakat pembaca :
- Buku belum menjadi prioritas kebutuhan masyarakat yang utama
- Daya beli masyarakat masih rendah dan harganya tidak terjangkau
- Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan pengaruh negatif terhadap minat baca masyarakat
- Masih kuatnya budaya dengar dan budaya lisan pada masyarakat
- Menyampaikan pendapat/pikiran atau gagasan secara tertulis belum merupakan kebiasaan bagi kebanyakan orang
- Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang belum mendukung peningkatan minat
- Sistem pembelajaran yang kurang mendukung peningkatan minat baca peserta didiknya
Problema yang dihadapi masyarakat pembaca mungkin bisa diselesaikan dengan menanamkan kesadaran membaca. Bila masyarakat sudah mampu menyadari manfaat membaca yang bukan sekedar mencari informasi, maka masyarakat akan mengahargai buku dengan membeli buku yang asli, bahkan masyarakat bisa mulai belajar menulis dan menyampaikan gagasannya. Pemerintah juga diharapkan prihatin dengan keadaan anak Indonesia yang kurang gemar membaca sehingga daya beli mereka terhadap buku pun kurang. Pemerintah juga harus menyediakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku terbaru dan berkualitas. perpustakaan pun harus disebar keberadaannya sehingga mereka yang dipelosok bisa tetap membaca buku. para guru juga orangtua harus memotivasi anak-anak Indonesia untuk terus membaca juga memberi contoh yang baik dengan ikut membaca buku.
BAB III
SIMPULAN
A. Kesimpulan
Industri buku di Indonesia mulai berkembang sejak masa penjajahan Belanda dan terus mengalami kemajuan seiring modernisasi bentuk buku. Industri buku diperkuat dengan keberadaan oleh lima pilar perbukuan yaitu pencipta ide, penerbit, percetakan, penyalur/distributor dan masyarakat pembaca. Kuantitas dan kualitas kelima pilar perbukuan di Indonesia memberikan gambaran keadaan perbukuan di negeri ini masih belum menggembirakan. Saat ini kelima pilar tersebut masih memiliki permasalahan yang berbeda-beda dan saling mempengaruhi. Bahkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ikut memperburuk keadaan industri buku di Indonesia.
Keadaan yang demikian membuat industri buku di Indonesia belum mampumenyaingi kancah dunia ataupun di ASEAN dan Negara-negara maju lainnya. Permasalahan tersebut seperti telah menjadi rahasia umum dan seolah dibiarkan oleh pemerintah di Indonesia.
B. Saran
Saran untuk membenahi ini semua adalah dari diri sendiri sebagai manusia yang akan haus pengetahuan melalui pembaca.Selain itu, Pemerintah memiliki peran penting pula karena pemerintahl yang membuat kebijakan-kebijakan tentang perbukuan. Pemerintah mampu menjadi penggagas dalam pergerakan budaya membaca dan pemerintah mampu berlaku tegas kepada aparaturnya agar tidak melakukan KKN terhadap perbukuan nasional.
Mahasiswa adalah generasi yang akan memberikan perubahan untuk Indonesia kedepannya. Dan melalui buku, maka generasi ini akan semakin berkembang dan melejit menjadi pribadi yang luar biasa yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang dapat bersaing di kancah perbukuan Internasional dengan ide-ide yang menginpirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sitepu, B.P, (2006). Penyusunan Buku Pelajaran. Jakarta:Verbum Publishing
HASIL DISKUSI
Anggita : Bagaimana cara mendistribusikan buku di daerah-daerah terpencil?
Jawab : salah satunya dengan cara mendistribusikan buku-buku melalui jasa pengiriman paket dan memberikannya ke perpustakaan daerah yang ada. Bisa juga melalui para pengajar relawan yang berada di tiap daerah terpencil.
Dega : bagaimana cara meningkatkan minat baca di masyarakat? Dan bagaimana cara mengatasi masalah pendistribusian yang ada?
Jawab : menurut kami peran pemerintah sangat penting untuk meningkatkan minat baca di masyarakat. Misalnya pemerintah merancang suatu kegiatan bersifat mengkampanye kan program wajib membaca buku dengan tampilan atau rangkaian acara yang menarik, menyenangkan, dan secara serentak di tiap-tiap daerah. Acara tersebut menyuguhkan berbagai macam buku, lalu buku-buku tersebut bisa dibaca gratis serta suguhan musik yang dibawakan oleh musisi terkenal agar minat masyarakat terhadap acara tersebut semakin besar.
Febri : apa bedanya penulis dengan pengarang? Mengapa toko buku tidak berfungsi sepenuhnya?
Jawab : Pengarang adalah orang yang melahirkan dan menuliskan gagasan atau pikirannya dalam bentuk naskah. Sedangkan penulis diartikan sebagai orang yang menuliskan suatu gagasan yang mungkin asli atau tidak asli dari hasil pikirannya sendiri. Fungsi dari toko buku itu sendiri ialah menjual berbagai macam buku, namun pada kenyataannya hingga saat ini kita masih seringkali menemukan fenomena dimana orang-orang datang ke toko buku bukan hanya membeli buku saja tetapi sekaligus menumpang baca buku bahkan ada yang menyempatkan datang ke toko buku hanya untuk numpang membaca saja tanpa membelinya. Selain itu toko buku ramai dikunjungi hanya di saat-saat tertentu saja seperti pergantian tahun ajaran baru karena adanya kenaikan kelas serta kebutuhan akan buku tulis dan buku pelajaran yang harus dipenuhi.
Tisa : bagaimana solusi menurut kalian dalam menghadapi permasalahan yang ada saat ini?
Jawab : menurut kami semuai itu berawal dari diri sendiri sebagai manusia yang akan haus pengetahuan. Selain itu, Pemerintah pun memiliki peran penting karena pemerintahlah yang membuat kebijakan-kebijakan tentang perbukuan. Pemerintah mampu menjadi penggagas dalam pergerakan budaya membaca dan pemerintah mampu berlaku tegas kepada aparaturnya agar tidak melakukan KKN terhadap perbukuan nasional. Menurut kami pemerintah juga bisa mengadakan suatu kampanye penggalakan membaca buku ke setiap daerah dan dalam waktu yang panjang.